Redenominasi : Penyederhanaan Nominal Mata Uang Menjadi Lebih Kecil Tanpa Mengubah Nilai Tukarnya
Redenominasi : Penyederhanaan Nominal Mata Uang Menjadi Lebih Kecil Tanpa Mengubah Nilai Tukarnya

Ilustrasi
Nuansamedianews.com - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menggulirkan wacana pemerintah untuk meredenominasi mata uang Rupiah. Dikutip dari Wikipedia, Redenominasi adalah penyederhanaan nominal mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Pada waktu terjadi inflasi, jumlah satuan moneter yang sama perlahan-lahan memiliki daya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah yang lebih besar.
Ketika angka-angka ini semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa, atau karena psikologi manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam jumlah besar.
Pihak yang berwenang dapat memperkecil masalah ini dengan Redenominasi ,satuan yang baru menggantikan satuan yang lama. dengan sejumlah angka tertentu dari satuan yang lama dikonversi menjadi 1 satuan yang baru.
Jika alasan redenominasi adalah inflasi, maka rasio konversi dapat lebih besar dari 1, biasanya merupakan bilangan positif kelipatan 10, seperti 10, 100, 1.000, dan seterusnya. Prosedur ini dapat disebut sebagai "penghilangan nol".
Bank Indonesia menegaskan jika redenominasi bukan pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang atau sanering. Salah satu manfaat dari adanya redenominasi adalah pemilik uang tidak perlu membawa uang dalam jumlah yang besar ke manapun ketika akan melakukan transaksi keuangan.
Berdasarkan Penetapan Presiden nomor 27 tahun 1965, pada tanggal 13 Desember 1965, Indonesia pernah melakukan redenominasi. Hal itu dilakukan dengan cara menerbitkan pecahan dengan desain baru Rp 1 dengan nilai atau daya beli setara dengan Rp 1.000. Tujuannya dilakukan redenominasi adalah untuk mewujudkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Indonesia.
Ketika terjadi redenominasi, data keuangan yang dipengaruhi oleh perubahan tersebut harus disesuaikan. Contohnya, produk domestik bruto (PDB) Bank Sentral Nikaragua yang didokumentasikan dengan baik.
Pemerintah berencana melakukan redenominasi rupiah karena inflasi yang cukup rendah. Rencana redenominasi rupiah sempat meramaikan Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Redenominasi merupakan langkah yang diambil dalam rangka menciptakan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal, sehingga Bank Indonesia melakukan hal ini. Redenominasi rupiah menentukan salah satu kewenangan Bank Indonesia dalam rangka mengatur dan menjaga keselarasan sistem pembayaran di Indonesia. Redenominasi sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah rumah makan dan penjual pulsa telepon seluler. Hal itu terbukti dengan harga yang tidak lagi menggunakan banyak angka nol, tapi sudah menggunakan harga tanpa tiga nol di belakangnya.
Berikut ini alasan redenominasi rupiah.
Uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini adalah Rp100.000 yang merupakan pecahan terbesar kedua di dunia setelah mata uang Dong Vietnam yang pernah mencetak 500.000 dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe yang pernah mencetak 100 triliun dolar Zimbabwe dalam 1 lembar mata uang.
Munculnya keresahan atas status rupiah yang terlalu rendah dibandingkan mata uang lainnya, misalnya terhadap dolar, euro, dan uang global lainnya, bukan dalam hal substansi, melainkan identitas karena kekuatan mata uang Indonesia relatif stabil, cadangan devisa juga aman, inflasi terjaga (1 digit), investasi juga tidak ada persoalan, kinerja ekonomi Indonesia baik.
Pecahan uang Indonesia yang selalu besar akan menimbulkan ketidakefisienan dan ketidaknyamanan dalam melakukan transaksi, karena diperlukan waktu yang banyak untuk mencatat, menghitung dan membawa uang untuk melakukan transaksi sehingga terjadi ketidakefisienan dalam transaksi ekonomi.
Untuk mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan kawasan ASEAN dalam memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2015.
Untuk menghilangkan kesan bahwa nilai nominal uang yang terlalu besar seolah-olah mencerminkan bahwa pada masa lalu, suatu negara pernah mengalami inflasi yang tinggi atau pernah mengalami kondisi fundamental ekonomi yang kurang baik.
Kebijakan redenominasi mata uang bukanlah hal yang baru di perekonomian dunia. dikutip dari laman theindonesianinstitute.com Argentina pernah melakukan redenominasi pada tahun 1983 dengan mengubah seribu Peso menjadi satu Peso (Mosley, 2005, dalam Karnadi dan Adijaya, 2017). Alhusain (2012) merangkum beberapa contoh negara lain yang melakukan redenominasi, seperti:
- Islandia pada tahun 1981. Dua angka nol dihilangkan di satu kali operasi redenominasi;
- Rusia pada tahun 1947, 1961 dan 1998. Tiga angka nol dihilangkan di tiga kali operasi redenominasi;
- Meksiko pada tahun 1993. Tiga angka nol dihilangkan di satu kali operasi redenominasi;
- Polandia pada tahun 1995. Empat angka nol dihilangkan di satu kali operasi redenominasi;
- Ukraina pada tahun 1996. Lima angka nol dihilangkan di satu kali operasi redenominasi;
- Peru pada tahun 1985 dan 1991. Enam angka nol dihilangkan di dua kali operasi redenominasi;
- Bolivia pada tahun 1963 dan 1987. Sembilan angka nol dihilangkan di dua kali operasi
RUU Redenominasi rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027. Berdasarkan PMK 70/2025, Kementerian Keuangan memaparkan beberapa urgensi pembentukan RUU Redenominasi, yaitu (1) efisiensi perekonomian dapat dicapai melalui peningkatan daya saing nasional; (2) menjaga kesinambungan perkembangan perekonomian nasional; (3) menjaga nilai Rupiah yang stabil sebagai wujud terpeliharanya daya beli masyarakat; serta (4) meningkatkan kredibilitas Rupiah.
Secara umum, setiap kebijakan ekonomi akan ada pro-kontranya, tanpa terkecuali redenominasi ini. Pro-nya: redenominasi dapat membuat operasi teknologi informasi dan penyimpanan data perdagangan saham lebih sederhana (Alhusain, 2012); meningkatkan kredibilitas mata uang (Agyepong et al., 2010); dan sebagai mitigasi respon terhadap hiperinflasi (Karnadi dan Adijaya, 2017).
Adapun tantangannya, menurut Pelaksana Tugas Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan saat itu, Bambang Brodjonegoro, dalam Alhusain (2012), redenominasi dapat mengakibatkan inflasi karena harga barang dibulatkan seiring proses redenominasi. Lana Soelistianingsih (pengamat ekonomi Universitas Indonesia) dalam Alhusain (2012) juga menuturkan bahwa keberhasilan redenominasi ditentukan oleh kesiapan infrastrukturnya, seperti ketersediaan mata uang baru dalam pecahan sen dan infrastruktur penyalur pecahan mata uang baru, serta sosialisasi kebijakan redenominasi secara benar ke masyarakat.
Perlu kita sadari bahwasannya redenominasi tidak mengubah daya beli atau nilai riil ekonomi dari mata uang itu sendiri. Ini hanya mengubah representasi nominal mata uang dalam bentuk angka.
Editor Redaksi
Komentar
Posting Komentar